AHLI KITÂB ITU TIDAK SAMA
Al-Quran menerangkan bahwa kaum ahl al-kitâb
itu tidak semuanya sama:
Mereka tidaklah semuanya sama.
Di antara kaum ahl al-kitâb terdapat umat yang teguh (konsisten), yang membaca
ayat-ayat (ajaran-ajaran) Allah di tengah malam, sambil bersujud (beribadah).
Mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, menganjurkan yang baik dan
mencegah yang jahat, serta bergegas kepada berbagai kebaikan. Mereka adalah
tergolong orang-orang yang baik (shalih). Apa pun kebaikan yang mereka
kerjakan tidak akan diingkari, dan Allah Mahatahu tentang orang-orang yang
bertaqwa (Q., 3: 113-115).
Sudah tentu terdapat kelompok-kelompok Islam yang tidak merasa begitu kenal dengan pandangan positif-optimis terhadap kaum agama lain semacam itu. Penyebabnya bisa karena kebetulan tidak mengetahui adanya firman tersebut, atau tidak memahaminya, atau terkalahkan oleh expediency sosiologis-psikologisnya sehingga tidak mau menerima makna terang firman itu dan bersandar kepada tafsiran yang mencoba memodifikasinya. Dalam umat Islam, masalah ini merupakan kerumitan tersendiri, sama dengan kerumitan serupa di semua kelompok agama. Namun adanya teks suci yang dapat dibaca dan secara lahiriah menunjukkan makna tersebut, sangatlah penting untuk mempertimbangkannya dengan serius. Pandangan yang inklusivistik semacam itu cukup banyak dalam Al-Quran. Pesan sucinya amat jelas, bahwa penyamarataan yang serba gampang bukanlah cara yang benar untuk memahami dan mengetahui hakikat suatu kenyataan yang kompleks.
cd
AHL AL KITÂB: TIDAK SEMUANYA SAMA
Sebagai kelompok masyarakat yang menolak atau bahkan
menentang Nabi, kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai sikap yang berbeda-beda;
ada yang keras dan ada pula yang lunak. Secara umum, penolakan mereka kepada
Nabi digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum Nabi mengikuti
agama mereka. Ini adalah sesuatu yang cukup logis, karena Nabi membawa agama
(“baru”) yang bagi mereka merupakan tantangan kepada agama yang sudah mapan,
yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara mereka itu masing-masing mengaku
agamanya tidak saja yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga
merupakan agama terakhir dari Tuhan. Maka tampilnya Nabi Muhammad Saw.
dengan agama yang “baru” itu sungguh merupakan gangguan kepada mereka.
Karena itu Al Quran memperingatkan kepada Nabi:
Kaum Yahudi dan Nasrani Tidak
akan senang kepada engkau (wahai Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama
mereka. Katakanlah (kepada mereka): “ petunjuk Allah- hanya itulah petunjuk
[yang sebenarnya]...” (Q., 2:120).
Walaupun begitu, Al Quran juga menyebutkan bahwa dari
kalangan kaum ahl al-kitâb itu ada kelompok-kelompok yang sikapnya
terhadap Nabi dan kaum Muslim adalah baik-baik saja, bahkan ada yang secara
diam-diam mengakui kebenaran yang datang dari Nabi Saw. Ini misalnya dituturkan
berkenaan dengan sikap segolongan kaum Nasrani yang banyak memelihara
hubungan baik dengan Nabi dan kaum Muslim, yang membuat mereka itu berbeda
dari kaum Yahudi dan Musyrik yang sangat memusuhi Nabi dan kaum Muslim:
Akan kaudapati orang yang paling
keras memusuhi orang beriman ialah golongan Yahudi dan golongan musyrik. Dan
akan kaudapati orang yang paling dekat bersahabat dengan orang beriman, maka
mereka berkata: “Kami adalah orang Nasrani,” sebab di antara mereka terdapat
orang-orang yang tekun belajar dan rahib-rahib dan mereka tidak menyombongkan
diri. Dan bila mereka mendengar wahyu yang diturunkan kepada Rasul, kaulihat
air mata mereka berlinangan karena pengetahuan mereka tentang kebenaran.
Mereka berkata: “Tuhan! Kami beriman. Masukkanlah kami bersama mereka yang
sudah menjadi saksi. Kenapa kami tidak harus beriman kepada Allah dan kepada
kebenaran yang pernah datang kepada kami, karena kami merindukan Tuhan akan
memasukkan kami bersama mereka yang saleh?”. Dan karena doa mereka Allah telah
menganugerahkan kepada mereka taman-taman surga dan sungai-sungai yang mengalir
di bawahnya; tempat tinggal mereka yang abadi. Demikianlah balasannya buat
orang yang mengerjakan amal kebaikan. (Q., 5: 82 85).
Bahwa kaum ahl al-kitâb itu tidak semuanya
sama, juga disebutkan dalam Al Quran tentang adanya segolongan mereka yang
rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam sambil terus-menerus
beribadat, dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan
amar ma‘ruf nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan. Lengkapnya, firman
Allah itu adalah demikian:
Mereka tidak sama: di antara
ahl al-kitâb, ada segolongan yang berlaku jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah
pada malam hari dan mereka pun bersujud. Mereka percaya pada Allah dan pada
hari kemudian; menyuruh orang berbuat benar dan mencegah perbuatan mungkar
serta berlomba dalam kebaikan. Mereka termasuk orang yang saleh. Dan perbuatan
baik apa pun yang mereka kerjakan niscaya takkan ditinggalkan. Dan Allah
Mahatahu mereka yang bertakwa (Q., 3: 113-115).
Tentang ayat-ayat yang sangat positif dan simpatik
kepada kaum ahl al-kitâb itu ada sementara tafsiran bahwa karena sikap
mereka yang menerima terhadap kebenaran tersebut maka mereka bukan lagi kaum ahl
al-kitâb, melainkan sudah menjadi kaum Muslim. Tetapi karena dalam
ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman kepada Rasulullah
Muhammad Saw., meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari
kemudian—sebagaimana agama-agama mereka sendiri sudah mengajarkan—maka mereka
secara langsung atau pun tidak langsung termasuk yang “menentang” Nabi;
jadi, mereka bukan golongan Muslim. Namun karena sikap mereka yang positif
kepada Nabi dan kaum beriman, maka perlakuan kepada mereka oleh kaum beriman
juga dipesan untuk tetap positif dan adil, yaitu selama mereka tidak memusuhi
dan tidak pula merampas harta kaum beriman:
Allah tidak melarang kamu dari
mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka; Allah
mencintai orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu dari mereka yang memerangi
kamu karena agama, dan mengusir kamu dari kampung halamanmu, dan mendukung
(pihak lain) mengusir kamu, mengajak mereka menjadi teman. Barangsiapa menjadikan
mereka teman, mereka itulah orang yang zalim (Q., 60: 8-9).
Maka meskipun Al Quran melarang kaum beriman untuk
bertengkar atau berdebat dengan kaum ahl al-kitâb, khususnya berkenaan
dengan masalah agama, namun terhadap yang zalim dari kalangan mereka kaum
beriman dibenarkan untuk membalas setimpal. Ini wajar sekali, dan sesuai dengan
prinsip universal pergaulan antara sesama manusia. Berkenaan dengan inilah maka
ada peringatan dalam Al Quran:
Dan janganlah kamu berbantah dengan ahl al-kitâb, kecuali dengan cara yang lebih baik (dari sekedar bertengkar), selain dengan mereka yang zalim; dan katakanlah, “Kami percaya pada apa yang diturunkan kepada kami dan diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu, dan kepada-Nya kita tunduk [dalam Islam]”(Q., 29: 46).
cd
Sebutan “ahl al-kitâb” dengan sendirinya
tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum
Muslim sendiri, meskipun mereka ini juga menganut kitab suci, yaitu Al Quran. Ahl
al-kitâb tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau
bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Saw. dan ajaran yang
beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi Al Quran, mereka disebut
“kâfir”, yakni, “yang menentang” atau “yang menolak”, dalam hal ini menentang
atau menolak Nabi Muhammad Saw. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Dari kalangan umat manusia yang menolak Nabi Muhammad
dan ajaran beliau itu dapat dikenali adanya tiga kelompok: (1) mereka yang sama
sekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang memiliki semacam kitab
suci, dan, (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas. Kelompok yang tergolong
memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka
inilah yang dalam Al Quran dengan tegas dan langsung disebut kaum ahl
al-kitâb.
Kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang
khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama
kaum Muslim (Islâm), dan agama kaum Muslim (Islâm) adalah kelanjutan, pembetulan,
dan penyempurnaan bagi agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah
kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan
oleh Nya kepada semua Nabi. Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama
Allah adalah umat yang tunggal. Tetapi pembetulan dan penyempurnaan selalu
diperlukan dari waktu ke waktu, sampai akhirnya tiba saat tampilnya Nabi
Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul, karena, menurut Al Quran,
ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah mengalami berbagai bentuk penyimpangan. Ini dapat
kita pahami dari firman-firman berikut:
Agama yang sama telah disyariatkan kepadamu, seperti yang diperintahkan kepada Nuh – dan yang Kami wahyukan kepadamu – dan yang Kami perintahkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa; yakni tegakkanlah agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya. Sukar bagi kamu musyrik [mengikuti] apa yang kauserukan kepada mereka. Allah memilih untuk Diri-Nya siapa yang Ia kehendaki, dan membimbing kepada-Nya siapa yang mau kembali [kepada-Nya](Q., 42: 13).
Jadi kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah untuk mendukung, meluruskan kembali dan menyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu itu. Nabi Muhammad adalah hanya salah seorang dari deretan para Nabi dan Rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat manusia. Karena itu para pengikut Nabi Muhammad Saw. diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu serta kitab-kitab suci mereka. Rukun Iman (Pokok Kepercayaan) Islam, setidak-tidaknya sebagaimana dianut golongan terbanyak kaum Muslim, mencakup kewajiban beriman kepada para Nabi dan Rasul terdahulu beserta kitab-kitab suci mereka, sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran:
Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah, dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma‘il, Ishaq, Ya’qub dan suku-suku baka dan kepada (kitab-kitab) Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan: kami tidak membeda-bedakan yang seorang dari yang lain di antara mereka dan kepada-Nyalah kami menyerahkan diri [dalam Islam]. Barangsiapa menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhir ia termasuk golongan yang rugi (Q., 3: 84-85).
Maka sejalan dengan pandangan dasar itu Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum ahl al-kitâb menuju kepada “kalimat kesamaan” (kalimatun sawâ’) antara beliau dan mereka, yaitu, secara prinsip menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhîd. Tetapi juga dipesankan bahwa, jika mereka menolak ajakan menuju kepada “kalimat kesamaan” itu, Nabi dan para pengikut beliau, yaitu kaum beriman, harus bertahan dengan identitas mereka selaku orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslimûn). Perintah Allah kepada Nabi itu demikian:
Katakanlah: “Wahai ahl al-kitâb! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim [tunduk bersujud kepada kehendak Allah]” (Q., 3: 64).
0 Comment