Mihnah atau inquisition yang dialami Ibn Rusyd, selain
akhirnya toh direhabilitasi, adalah jenis Mihnah atau inquisitior
yang sangat lunak dan beradab dibandingkan dengan, misalnya, yang
dialami oleh para filsuf dan pemikir bebas dari kalangan Kristen Eropa. Proses
pergantian ejaan nama filsuf kita itu dari nama aslinya (bahasa Arab) ke nama
Latinnya melibatkan seorang pendeta Kristen dan seorang pemeluk Yahudi
Spanyol. Tetapi mereka, khususnya orang-orang Kristen, yang secara bijaksana
melibatkan diri dalam kegiatan ilmiah, adalah orang-orang Kristen yang menurut
ukuran zamannya “liberal,” malah “sangat liberal.”
Oleh karena itu banyak sekali dari mereka, banyak dibanding yang ada di
kalangan orang- orang Muslim, menjadi sasaran penghinaan dan penyiksaan oleh
para penguasa yang berhasil dihasut atau karena memang memerlukan dukungan
para tokoh agama konservatif. Penyiksaan dan penghinaan yang mereka terima
melalui inquisition Kristen itu tidak bisa dibandingkan dengan yang
diterima oleh para pemikir “liberal” Muslim seperti Ibn Rusyd. Mereka melakukannya
jauh lebih kejam, dan sangat melampaui batas-batas perikemanusiaan. Kekejaman
dan tindakan melampaui batas-batas perikemanusiaan itu dilukiskan oleh
seorang sarjana dan pemikir modern (kontemporer) begini:
...Pengaruh praktis pandangan-pandangan Kristen ortodoks sering membawa
kepada kejadian-kejadian yang menampakkan suatu kontras menyedihkan terhadap
standar etis kebanyakan orang. Bertrand Russel (1957) mungkin benar dalam menamakan
agama Kristen paling tak toleran di antara semua agama. Kita hanya harus
mengingat berbagai perang melawan “orang-orang kafir” dan perusakan
budaya-budaya mereka seperti yang dipunyai orang-orang Maya dan Inca, penyiksaan
semua orang yang berani menyatakan keberatan terhadap kenyamanan doktrinal,
Inkuisisi dengan penyiksaan-penyiksaan dan pembakaran biadab atau kepedihan
ruhani orang-orang yang diancam dengan neraka. Kemajuan intelektual sering
dihalangi, dan daftar para pemikir yang disiksa oleh gereja Kristen adalah
panjang, dimulai pada abad kesembilan dengan Johannes Scotus Erigena dan berlanjut
dengan Albertus Magunus, Roger Bacon, Giordano Bruno, Galileo, Campanela,
Fichte, La Mattrie, Holbach, Fr. Strauss, dan lain-lain. Bahkan karya keagamaan
Kant, Die Religion in den Grenzen der Blosson Vernunft (Agama dalam Batas
Akal Murni, 1794) mengalami penyensoran oleh Frederick William II.
Perintahnya dalam majelis mengingkari karya itu sebagai penyalahgunaan filsafat
dan penghinaan doktrin-doktrin asasi Kitab Suci. Para profesor filsafat dan
teologi pada universitas Koningberg dilarang memberi kuliah tentang masalah
itu. Bahkan hari ini pun sikap tak toleran tertentu yang seharusnya tidak
sejalan dengan agama Kristen sering menyulitkan kehidupan keluarga maupun
kehidupan profesional.
Segi perbandingan lainnya antara mihnah Islam dan inquisition
Kristen, lagi-lagi agar kita memperoleh pembahasan yang adil, ialah bahwa
inquisition Kristen hanya terjadi dari
satu arah, yaitu dari arah orang-orang kolot dari sebagian kaum
penguasa dan tokoh agama terhadap kaum liberal dari kalangan kaum filsafat dan
ilmu. Dalam mihnah Islam justru bisa terjadi dari dua jurusan,
yakni dari jurusan kaum kolot yang melakukan mihnah terhadap
orang-orang liberal seperti yang dialami oleh Ibn Rusyd itu, dan dari jurusan
kaum liberal seperti Khalifah Ma’mun di Baghdad yang berpandangan
Mu’tazilî, yang melancarkan mihnah terhadap kaum “kolot” dan
“konservatif” seperti Ahmad Ibn Hanbal. Tetapi lagi-lagi,seperti halnya
Ibn Rusyd, Ibn Hanbal pun akhirnya mendapat rehabilitasi, suatu kenyataan yang
membuktikan perbedaan “kualitif” antara mihnah Islam dan inquisition.
Kendati begitu, jelas kedua-duanya adalah bentuk-bentuk kezaliman dan
kekeliruan besar yang menjadi catatan
hitam dalam perjalanan sejarah umat manusia secara keseluruhan.
Kesengsaraan yang menimpa para pemikir Kristen Eropa sesungguhnya dapat
dijejaki ke belakang sampai ke masa-masa introduksi filsafat Islam ke Dunia
Barat, antara lain melalui karya-karya Ibn Rusyd yang telah diterjemahan ke
bahasa Latin. Karena kegiatan penerjemahan Latin itulah, maka bentuk pengaruh
Ibn Rusyd ke dunia pemikiran Eropa dikenal dengan Averroisme Latin. Menurut
Ernst Renan, pikiran-pikiran Ibn Rusyd diajarkan di universitas Perancis oleh
kaum Fransiskan (sebuah ordo Katolik) mulai abad ke-13. Tapi pengajaran itu
mendapat reaksi keras dari gereja, yang menurut Renan tercermin dalam
tulisan-tulisan William dari Auvergne, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Giles
dari Roma dan Raimon Lull.
Pendapat lain menyebutkan William Auvergne sebetulnya tidaklah membuat
reaksi kepada Ibn Rusyd, melainkan kepada Ibn Sînâ. Sebab kaum Fransiskan,
yakni ordo Katolik yang mengajarkan pikiran-pikiran Ibn Rusyd, pun memperoleh
ide mereka tentang intelek aktif yang unik dari Ibn Sînâ (dari filsafat Isyrâqiyyah),
yang sesungguhnya sejalan dengan ide Augustinus tentang “cahaya Ilahi”
yang disamakannya dengan Tuhan itu sendiri.
Inti Averroisme Latin yang ditentang keras oleh mereka ialah pendirian
tentang superioritas akal atas wahyu. Dan seperti halnya Ibn Rusyd sendiri,
kaum Averrois adalah kaum rasionalis. Tetapi karena mereka adalah orang-orang
yang beragama atau mengaku beragama, maka mereka kesulitan menggabungkan
antara kebenaran rasional dan kebenaran revelasional (wahyu), sehingga hal ini
menggiring mereka kepada konsep tentang “kebenaran ganda”. Ini pun menjadi
sasaran kritik dan penolakan yang tegas, karena menunjukkan suatu jenis
kemunafikan dalam sikap keagamaan kaum Averrois.
Namun sesungguhnya, Ibn Rusyd sendiri tidaklah mengajarkan “kebenaran
ganda” itu. Mungkin bagi orang-orang Kristen Eropa, filsuf kita ini mengesankan
mengajarkan jenis kemunafikan itu disebabkan oleh pendirian tentang ta’wil
atau interpretasi metaforis terhadap teks-teks suci keagamaan dari Al-Qurân
maupun Hadîts yang bernada antropomorfis. Ibn Rusyd dengan tegas membela
hak untuk melakukan interpretasi metaforis. Tetapi ia membatasi hak itu hanya
kepada kaum khawas (khawâshsh), bukan kaum awam ( ‘âwâmm).
Menurut Ibn Rusyd, kaum khawas akan menjadi kafir kalau tidak melakukan
ta’wil, karena ia akan mendapati berbagai point ajaran agama
tidak masuk akal, tertolak. Dan sebaliknya, kaum awam akan menjadi kafir kalau
melakukan ta’wil, karena pekerjaan itu sulit sekali dan tidak akan
tercapai oleh kemampuan akalnya, sehingga baginya agama pun menjadi sulit
dipahami dan tertolak. Bagi Ibn Rusyd, kaum awam harus memahami agama seperti
apa adanya, sebab agama memang dinyatakan dalam lambang-lambang dan simbol-simbol
(menurut istilah Ibn Sînâ, amtsâl wa
rumûz). Yakni, ungkapan-ungkapan dan alegoris, agar dapat dengan mudah
dipahami kaum awam yang merupakan bagian terbesar umat manusia.
Pandangan Ibn Rusyd (dan juga Ibn Sînâ, serta umumnya para filsuf Islam,
termasuk kaum Mu’tazilah) tentang interpretasi metaforis itu didasarkan kepada
kemungkinan adanya dua cara baca berkenaan dengan bagian di mana harus
berhenti dalam koma. Sebuah firman Ilahi yang relevan dari Al-Qurân surat 3:7 dapat mewakili dua cara baca
tersebut. Pertama untuk kaum awam:
Dialah (Tuhan) yang menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci,
dari antaranya adalah ayat-ayat muhkamât yang menjadi induk kitab
dan yang lainnya mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada
keserongan, maka mereka mengikuti yang mutasyâbihât itu
membuat ta’wil-nya. Dan tidaklah mengetahui ta’wilnya itu
kecuali Allah fitnah. Dan orang-orang yang mendalam dalam ilmu, mereka
berkata, “Kami beriman dengan Kitab Suci itu; semua dari sisi Tuhan kami.” Dan
tidaklah mampu merenung kecuali orang-orang yang berakal budi.
0 Comment