Ada sedikit kesalahpahaman di kalangan mereka yang kerap membicarakan
konsep sunnatullah (sunnatullâh). Mereka menggunakan perkataan
sunnatullah termasuk untuk hukum yang menguasai alam kebendaan. Padahal, kalau
dikembalikan kepada Al-Quran, sunnatullah adalah hukum yang menguasai
kehidupan manusia dalam sejarah. Tegasnya, ia adalah hukum sejarah. Karena
itu, sunnatullah sebenarnya lebih banyak berurusan dengan peradaban dan
kebudayaan. Perkataan inilah yang disebutkan dalam beberapa ayat Al-Quran yang
berkenaan dengan perintah Tuhan untuk mempelajari sejarah, (Demikian
itulah) hukum Allah yang juga berlaku bagi mereka yang terdahulu, dan tidak ada
kaudapatkan perubahan pada hukum Allah (Q., 33: 62). Dengan demikian,
sunnatullah adalah hukum yang menguasai sejarah. Mempelajari peradaban,
kebudayaan, sejarah, yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, sebetulnya sama dengan mempelajari sunnatullah.
Untuk alam, ada istilah yang lain, yaitu takdir—sebelum istilah ini
menjadi istilah ilmu kalâm. Takdir artinya ketentuan yang pasti dari
Tuhan. Maka gambaran bahwa matahari beredar menurut garis edar yang sudah
ditetapkan, seperti dinyatakan dalam surat Yâsîn, itu disebut sebagai takdir. Dan
matahari beredar menurut waktu yang sudah ditentukan baginya; itulah ketentuan
Yang Maha Perkasa, Maha Tahu (Q., 36: 38). Kemudian ada ilustrasi tentang
rembulan sedari bulan purnama sampai dengan tertutup kembali, itu pun takdir
dari Tuhan. Dan rembulan itu Kami takdirkan berfase-fase, dari bulan purnama
menjadi bulan sabit ataupun yang semula (Q., 36: 39).
Tuhan menyebutkan adanya dua hokum: pertama adalah sunnatullah dan yang
kedua takdir. Sunnatullah artinya tradisi, kebiasaan yang mapan dan mantap;
sedangkan takdir artinya ketentuan yang pasti. Tuhan seolah-olah mengatakan
bahwa kehidupan manusia—dalam sejarah yang menyangkut masalah politik, budaya,
ekonomi dan sebagainya—dikuasai oleh hukum-hukum yang berasal dari
kebiasaan-kebiasaan yang ada. Tetapi kebiasaan ini begitu rupa sehingga oleh
Tuhan diilustrasikan sebagai tidak pasti, dan tidak ada kaudapatkan
perubahan pada hukum Allah (Q., 33: 62).
Daya prediksi ilmu sosial relatif rendah, karena itu agar seluruh
karya-karya ilmu sosial harus dikuasai. Sedangkan pengamatan terhadap benda
menghasilkan exact science atau ilmu eksakta. Disebut ilmu eksakta
karena variabelnya pendek, sehingga seluruhnya bisa dikuasai. Jika seorang ahli
air ingin mengetahui apa hakekat air sungai Ciliwung, itu mudah saja; ia
tinggal mengambil sampel air Ciliwung kemudian membawanya ke laboratorium.
Konklusi yang dia buat melalui penelitian di laboratorium itu hardly
predictable, artinya siapa pun yang mengambil air sungai Ciliwung akan
menghasilkan konklusi yang sama. Tetapi ilmu-ilmu kemasyarakatan tidak bisa
begitu, karena banyak sekali variabel yang terlibat di dalamnya. Sewaktu Iran
masih dalam kekuasaan Shah, ada banyak sekali ahli Iran di Barat, termasuk
Amerika karena Shah bersimpati kepada Barat dan orang Barat banyak bersimpati
kepada Shah. Mereka mengarang banyak sekali buku mengenai Iran, tetapi tidak
satu pun yang menduga bahwa Shah yang hebat itu bakal jatuh oleh Khomeini.
Ketika Khomeini ternyata menang, mereka kaget dan bertanya-tanya, bagaimana itu
bisa terjadi. Begitulah, ada variabel yang tidak mereka perhitungkan.
Situasinya akan lebih sulit jika tidak hanya menyangkut yang dapat diamati
saja, tetapi juga yang tidak bias diamati. Siapa tahu! Bukankah Nabi
juga mengatakan bahwa beliau saja tidak diberitahukan untuk melacak data orang
sebab semua itu hanya diketahui oleh Allah Swt.
Masalah-masalah sosial kalau didekati dengan cara berpikir eksakta dan
satu garis (monolinier), akan semakin jauh, sebab itu berarti mengasumsikan
tidak adanya variabel yang lain. Karena itu, menarik ketika Ibn Khaldun menutup
Muqaddimah-nya dengan mengatakan bahwa ia telah merintis sebuah ilmu
baru, yaitu ‘ilm ‘umrân atau ilmu peradaban. Selanjutnya dikatakan bahwa
tidaklah layak dan tidak mungkin seseorang mengembangkan ilmu itu secara
sempurna, sehingga kewajiban generasi berikutnyalah untuk mengembangkan dan
menumbuhkannya.
Tetapi, apakah dengan demikian tidak ada lagi keperluan untuk
mempelajari soft science? Jawabannya adalah tetap perlu, sebab sebagian
besar pola-pola yang mengatur hidup ini berasal dari konsep ilmu sosial. Maka,
dalam Al-Quran ada perintah untuk mempelajari sejarah, Katakanlah, “Jelajahilah
bumi ini kemudian lihatlah bagaimana akibat orang yang mendustakan (kebenaran)”
(Q., 6: 11). Memang, di sini yang disebutkan yang negatif, yaitu bagaimana
orang bisa belajar dari kegagalan, atau dari malapetaka yang menimpa
bangsa-bangsa yang lalu. Tetapi unsur positifnya juga bisa dilihat, yaitu
bagaimana orang bisa belajar dari pengalaman-pengalaman yang baik daripada yang
lalu, meskipun sisi ini tidak begitu dramatis, dan biasanya yang lebih penting
adalah belajar dari kegagalan. Al-Quran mengatakan, Sudah banyak cara
(sunnah—NM) yang sudah berlalu sebelum kamu: mengembaralah ke segenap penjuru
bumi, dan lihat bagaimana berakhirnya orang yang mendustakan (kebenaran)
(Q., 3: 137). Dulu, ayat itu pernah menjadi bagian dari etos orang Islam,
sehingga banyak orang Islam mengembara ke mana-mana.
Dalam film Marcopolo juga banyak digambarkan bahwa ia sering bertemu
dengan orang Islam, bahkan sampai di Beijing sekalipun. Di dalam Al-Quran ada
ilustrasi bahwa nanti di akhirat setiap orang akan dimintai tanggung jawab atas
semua perbuatannya. Di antaranya ada yang mengatakan, “Kami orang-orang yang
lemah di bumi ini,” (Q.S. 4:97). Yang ingin dikatakan sebenarnya adalah
bahwa mereka di bumi tidak bisa berbuat lain kecuali berbuat yang jahat, karena
mereka dikuasai oleh penguasa yang zalim, diktator, dan otoriter. Argumen
semacam itu ternyata tidak diterima oleh Tuhan, “Bukankah bumi Allah luas,
kamu dapat berhijrah?” (Q.S. 4: 97). Artinya memang ada perintah untuk
mengembara. Karena tidak ada laboratorium pengalaman manusia, termasuk dalam
hal mendirikan masyarakat yang baik, maka yang dibutuhkan adalah belajar dari
sejarah sebagaimana banyak diperintahkan di dalam Al-Quran.
Pada waktu turunnya ayat-ayat itu, yang dimaksud sejarah tentunya ialah
sejarah sebelum Nabi. Sekarang, sebagai perbandingannya, sejarah yang dimaksud
tentu saja sejarah sebelum dan sesudah Nabi, termasuk sejarah Islam. Itu yang
harus dipelajari. Kegagalan umat Islam yang paling mencolok sekarang ini ialah
bahwa mereka tidak mempunyai kesadaran seja-rah.
0 Comment