Prinsip harus menghormati jenazah, khususnya jika dikaitkan dengan
hadis tentang tidak diperkenankannya menyakiti jasad orang yang telah
meninggal, telah menimbulkan kontroversi tentang boleh tidaknya bedah mayat.
Dan kontroversi itu akan dengan mudah dilanjutkan kepada persoalan pemindahan
organ tubuh mayat ke tubuh orang lain (tang masih hidup). Tetapi riwayat hadis
itu sendiri agaknya tidak terlalu kuat. Ia diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
dengan sanad yang memenuhi syarat kriteria hadis Imam Muslim (namun tidak
menyamai hadis Muslim). Kemudian ada tambahan kata-kata amat penting oleh Ibn
Majah dari riwayat Ummu Salamah, yaitu kata-kata “dalam dosanya”,
sehingga hadis itu lengkapnya menjadi, “Mematahkan tulang orang yang telah
mati adalah sama dengan mematahkan tulang orang hidup-hidup, ‘dalam dosanya’”.
Oleh karena itu Imam Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani menjelaskan bahwa persamaan
itu menegaskan kewajiban kita menghormati jasad orang mati seperti menghormati
orang hidup. Sedangkan tambahan “dalam dosanya” menerangkan, antara
lain, bahwa terdapat kemungkinan (yahtamilu) orang yang
telah meninggal itu bisa merasa sakit seperti halnya orang hidup (tapi tidak
pasti).
Isyarat dalam keterangan al-Kahlani itu (bahwa orang mati belum jelas
bisa merasa sakit seperti orang hidup) agak berlawanan dengan beberapa hadis
lain, khususnya dengan hadis talqîn (mengajari orang mati dengan kalimat
syahadat—suatu petunjuk bahwa orang mati dapat mendengar, jadi dapat merasa
sakit). Bahwa orang mati dapat mendengar merupakan pendapat yang umum dianut
kaum Muslimin di Indonesia. Namun ada indikasi bahwa yang dimaksud dengan talqîn
itu bukanlah pengajaran kepada orang yang telah mati, melainkan kepada
yang hendak mati, yakni yang dalam keadaan sekarat. Sebab perkataan
“orang-orang mati” dalam hadis itu adalah majâz (metafor) untuk orang
yang hendak mati, tidak dimaksudkan arti harfiahnya.
Sebaliknya, isyarat al-Kahlani itu lebih bersesuaian dengan makna yang
dapat ditarik dari beberapa ayat Al-Quran bahwa orang-orang yang telah
meninggal itu seperti tidur nyenyak (Q., 36: 52), sehingga mereka akan terkejut
sewaktu dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat.
Lebih jauh, isyarat al-Kahlani itu sejalan dengan beberapa firman lain
yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak akan bisa membuat orang yang telah
mati atau orang yang telah ada dalam kubur, menjadi mendengar (Q., 27: 80; Q.,
30: 52; Q., 35: 22). Dalam memahami firman inipun tidak lepas dari masalah
penafsiran. “Orang yang ada dalam kubur” dalam Q., 35: 22 adalah metafor untuk
orang yang berkeras kepala tidak mau mendengarkan seruan kepada kebenaran—yaitu
orang kafir. Tapi, kenyataan bahwa metafor demikian itu digunakan menunjukkan
kebenaran makna asalnya, yaitu bahwa “orang dalam kubur” memang tidak bisa
mendengar.
Dari uraian singkat di atas kiranya dapat disimpulkan dengan cukup
mantap bahwa orang mati tidak bisa lagi merasakan apa yang terjadi pada
tubuhnya, termasuk juga bila dipotong suatu organnya. Dengan begitu, kewajiban
menghormati orang mati seharusnya tidak membawa akibat dilarangnya melakukan
sesuatu yang perlu terhadap tubuhnya, seperti bedah mayat dan pengambilan untuk
dimanfaatkan.
Untuk memperoleh kepastian lebih lanjut mengenai “hukum” donasi organ tubuh
ini—selain kemungkinan melihatnya
sebagai tidak bertentangan
dengan
konsep fitrah dan dengan prinsip kewajiban menghormati jenazah—harus
digabungkan dengan prinsip yang lebih positif, yaitu prinsip kewajiban
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan manusia. Menurut agama menghidupi
atau menghidupkan seorang manusia memiliki nilai kebaikan sama dengan
menghidupi atau menghidupkan seluruh umat manusia (Q., 5: 32). Maka usaha
menyelamatkan hidup seorang manusia adalah suatu amal kebajikan yang tak ternilai
di hadapan Tuhan. Tentu saja termasuk kerelaan mendonasikan organ tubuh kita
untuk yang memerlukan.
Dirangkaikan dengan berbagai kaedah ushûl al-fiqh (dasar-dasar
yurisprudensi), kemungkinan pengembangan dan penarikan hukum donasi organ tubuh
itu dapat memperoleh keluwesan dan dinamika yang lebih jauh.
Nice.....
BalasHapus