Bekerja dengan ihsân adalah bekerja sebaik-baiknya guna
mencapai tujuan yang optimal, tidak setengah-setengah atau mediocre.
Nabi Saw. menerangkan makna ihsân melalui perumpamaan; kalau
menyembelih binatang hendaknya kita mengasah pisau setajam-tajamnya sehingga
binatang itu tidak menderita dan hasil sembelihannya pun sempurna. Pandangan
ini dapat dikaitkan dengan pandangan bekerja dengan itqân, yaitu membuat
segala sesuatu yang kita lakukan menjadi sebaik-baiknya, meniru dan sejalan
dengan sifat Allah (Q., 27: 88). Karena itu Nabi Saw. memberi petunjuk,
“Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah” (Takhallaqû bi akhlâqillâh),
yaitu kita dianjurkan “meniru” sifat-sifat Tuhan. Sekalipun tidak mungkin akan
menyamai Allah, tetapi sifat-sifat Allah yang serba sempurna harus menjadi
pedoman dan titik orientasi seluruh kegiatan kita, dalam rangka memperoleh ridlâ-Nya.
Karena itu, dalam tasawuf, tinggi sekali nilai penghayatan “Nama-nama Yang
Baik” (al-asmâ al-husnâ) dari Allah Subhânahu wa ta’âlâ.
Dalam rangka melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa
tanggung jawab kepada Allah dan keinginan mencapai ridlâ atau
perkenan-Nya tersebut, maka seseorang harus memperlihatkan hukum-hukum obyektif
yang menguasai pekerjaannya, lahir dan batin. Dalam peristilahan Islam,
hukum-hukum obyektif itu disebut Sunnatullah (Sunnatullâh, Hukum atau
Ketentuan Allah), yakni menyatakan apa yang terjadi sehari-hari sebagai hukum
alam untuk benda-benda mati dan hukum sejarah untuk kesatuan rentetan
pengalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial. Jika hukum-hukum itu dipahami
dan dipegang dalam melaksanakan kegiatan, maka kegiatan itu akan membawa
kebahagiaan. Bahagia karena keberhasilan usaha itu adalah rahmat Allah sebagai al-Rahmân,
yaitu Allah sebagai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Sebagai al-Rahmân,
Allah menganugerahkan rahmat-Nya di dunia ini berupa keberhasilan usaha dan
kebahagiaan kepada siapa saja dari hamba-Nya yang berbuat sesuai dengan
Sunnah-Nya yang tidak akan berubah-ubah tanpa memandang apakah orang itu
beriman ataupun ingkar kepada-Nya. Tidak ada gambaran yang lebih tepat untuk
pandangan hidup di atas itu kecuali yang diberikan oleh Dr. Ir. Imaduddin Abdul
Rahim, seorang tokoh cendekiawan Muslim Indonesia yang terkenal. Ia sering
menjelaskan bahwa sebuah kasino dengan penangkal petir yang baik tentu lebih
selamat dari kemungkinan disambar petir daripada sebuah masjid tanpa penangkal
petir! Terjemahnya adalah seorang kafir yang paham Sunnatullah dan
melaksanakannya akan lebih terjamin memperoleh keselamatan dan sukses di dunia
ini daripada seorang beriman yang tidak mengetahui Sunnatullah dan karena itu
tidak dapat melaksanakannya.
0 Comment