Telah umum diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, kaum
Mu’tazilah adalah pelopor pembahasan masalah akal dan wahyu. Dalam pandangan
mereka, kedua hal itu tidak mungkin bertentangan. Sebab wahyu adalah kebenaran,
dan akal adalah anugerah Tuhan untuk mampu menangkap kebenaran itu. Pandangan
ini seluruhnya sejalan dengan berbagai dorongan dalam Al-Qurân agar kita
menggunakan akal, berpkir, merenung (ya’qilu, yatafakkaru dan yatadabbaru,
dengan tashrif derivatif masing-masing). Ayat-ayat Al-Qurân banyak sekali
diakhiri dengan perkataan-perkataan itu, baik yang bernada pujian kepada yang
melakukannya ataupun yang bernada gugatan kepada yang tidak melakukannya.
Secara populer diketahui bahwa pelopor gerakan Mu’tazilah ialah Wâshil
ibn ‘Athâ (w. 131 H./749 M.) dari Bashrah, (bekas) murid Hasan Bashrî
(al- Hasan al-Bashrî w. 110 H./728M.). Meskipun riwayat menyebutkan
bahwa pikiran i’tizâl-nya tumbuh karena kekecewaan kepada gurunya dalam
menjawab tentang status seseorang yang mengaku beriman namun berdosa besar,
Wâshil dapat dipahami lebih baik hanya jika diperhitungkan pengaruh gurunya
itu. Sebab Hasan Bashrî adalah seorang tokoh ulama yang sangat cenderung
kepada faham Qadarîyah, yang menyebabkan ia banyak berhadapan dengan rezim
Umayyah di Damaskus (yang terkenal sangat kuat berpegang kepada faham
Jabarîyah).
Faham Qadarîyah sendiri merupakan salah satu tema pokok pandangan
keagamaan kaum Khawârij. Lagi-lagi, sekalipun kaum “pemberontak” (makna harfiah perkataan “khawârij”)
ini “memberontak” kepada ‘Âli ibn Abî Thâlib, namun banyak wawasan kaum
Khawârij yang rasional dan demokratis berakar dalam wawasan khalifat keempat
itu. Bahkan meskipun faham kaum Khawârij akhirnya berkembang menjadi ekstrem
sehingga kelak mereka dinyatakan oleh kaum Sunni sebagai pembuat bid’ah (ahl-u
‘l-bid’ah atau al-mubtadi’ah) dan golongan penurut keinginan sendiri
(ahl-u ‘l-ahwâ), namun secara keagamaan pribadi mereka itu, seperti dikatakan
Ibn Taymîyah, adalah orang-orang yang saleh dan sangat dapat dipercaya.
Dalam penilaan kalangan ahli sejarah politik dan pemikiran Islam, kaum
Mu’tazilah adalah “titisan” kaum Khawârij, kecuali bahwa mereka itu tidak
terlalu berat terobsesi kepada kekuasaan politik. Tapi ketika faham Mu’tazilah
itu diambil oleh Khalifah al-Ma’mûn dan diputuskannya sebagai faham “resmi”
negara (dengan ekses negatif yang ironis berupa mihnah atau
pemeriksaan faham pribadi), kelompok Muslim “rasionalis” itu mampu menggerakan wawasan keilmuan dan
etos intelektual dalam peradaban Islam yang hasil-hasilnya masih menjadi topik
kebanggaan kaum Muslim sampai sekarang. Ekses faham i’tizâl memang ada,
tapi merupakan hal sekunder.
Kaum Muslim zaman modern mungkin tidak perlu mengulang kembali secara
keseluruhan faham Mu’tazilah. Tetapi jelas sekali bahwa mereka perlu
membangkitkan kembali wawasan keilmuan dan etos intelektual pada “zaman
keemasan” Islam itu.
0 Comment