Umat Islam dididik supaya lebih mampu bersabar dan bersikap tawadhdhu
dalam melihat perbedaan di kalangan mereka sendiri, sehingga bisa mendukung ukhuwwah
Islâmiyyah. Perbedaan tidak boleh dijadikan alasan untuk saling mengejek
atau memperolok satu sama lain. Ada sebuah pepatah Melayu yang berbunyi,
“Menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri”. Artinya kalau kita
memperolok-olok sesama umat Islam, maka sebetulnya kita menghina diri kita
sendiri. Di tahun 1950-an, orang Muhammadiyah memperolok orang NU sebagai
“kaum kolot”. Sebaliknya, orang NU memanggil orang Muhammadiyah dengan sebutan
“kaum bidah”, karena sekolah Muhammadiyah menggunakan bangku, mengajarkan
huruf latin, bahasa Belanda, dan sebagainya, dan nama sekolahnya HIS; padahal
dalam tradisi, sekolah ialah madrasah, tidak memakai bangku, dan memakai
huruf Arab.
Adalah ironis jika umat Islam tidak mampu belajar bersikap toleran dalam
menyikapi perbedaan. Sebab ketika mereka mengaku menganut salah satu
mazhab, maka seharusnya dipahami juga bahwa konteks kelahiran mazhab itu
ialah karena adanya kelapangan dada untuk berbeda. Imam Syafi’i adalah murid
Imam Malik, tetapi kemudian si murid ini menjelajah jauh lebih luas daripada
gurunya sendiri, dan berkembang menjadi tokoh yang independen, lalu mendirikan
mazhab sendiri, yaitu madzhab Syafi’i. Hal itu karena Imam Syafi’i mempunyai
pendapat yang berbeda dengan Imam Malik, menyangkut sekitar 14.000 masalah;
dan dengan Imam Hanafi tercatat sekitar 6.000 perbedaan. Mereka tidak saling
menghina, saling menyalahkan, dan saling memusuhi. Bahkan dikatakan oleh Imam
Abu Hanifah ketika beliau terlibat dalam polemik-polemik bahwa, “Pendapat kita
ini benar tetapi ada kemungkinan salah, pendapat orang lain itu salah tetapi
ada kemungkinan benar.” Orang Islam dididik untuk bersikap seperti itu,
sehingga tidak ada masalah dalam soal perbedaan pendapat.
Nice advice....i will read all posting news...thanks inspired
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus