BERATNYA SEBUAH
IBADAH
Kalau diperhatikan secara sepintas, ibadah puasa terkesan berat dan
menyusahkan: harus menahan makan dan minum, serta hubungan seks sejak fajar
terbit hingga matahari terbenam, yang keseluruhannya adalah kebutuhan dasar
manusia. Namun, kalau kita bandingkan dengan ibadah lain dalam Islam, seperti
ibadah haji, maka sebenarnya juga sama. Apalagi melakukan ibadah haji pada
zaman dahulu kala ketika belum ditemukan kapal mesin, sehingga menunaikan
ibadah haji benar-benar merupakan perjuangan yang sangat hebat. Inilah
barangkali alasannya, gelar haji kemudian begitu berarti—dicantumkan di depan
nama, khususnya bagi bangsa Indonesia. Padahal di negara-negara lain, apalagi
di Arab, gelar haji hampir tidak ada.
Ibadah haji sesungguhnya hanyalah ritual berupa kunjungan wisata ke
monumen-monumen Allah Swt.—dalam idiom Al-Quran dinamakan sya‘â’ir,
bentuk jamak syi‘âr, yang memiliki arti sama dengan monumen. Lewat
wisata ke monumen-monumen Allah Swt. tersebut, maka orang beriman dituntut
untuk dapat mempelajari, menarik pelajaran sejarah perjuangan para Nabi dan
Rasul Allah Swt. dalam menegakkan kalimat atau agama Allah Swt.
Sekali lagi, perlu kiranya diingat bahwa hakikat ibadah dalam Islam bukanlah
untuk memenuhi kepentingan Allah Swt. sama sekali, melainkan demi memenuhi
kepentingan manusia sendiri. Dengan begitu, Allah Swt. mustahil bermaksud
menyusahkan hamba-Nya. Ibadah puasa, dari pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya, justru merupakan perwujudan sebuah karunia dan kasih sayang Allah
Swt. dalam rangka meningkatkan kepekaan ruhaniah—salah satu dimensi
manusia yang sangat penting.
Selama menjalankan ibadah puasa secara benar, tidak saja dalam pengertian
benar dari kaca mata fiqhîyah atau lahiriah, seseorang diharapkan akan
memiliki ruhaniah yang sangat sugestif. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang menjalankan latihan atau olah ruhaniah,
spiritual exercise, sehingga dirinya merasa dekat secara ruhaniah
dengan Allah swt. Sebagai implikasinya, dia akan selalu merasa diawasi,
diperhatikan, dan dipedulikan oleh Allah Swt. karena merasakan sebuah
kedekatan dengan Allah Swt.
Sikap yang demikian itu—dekat secara ruhaniah dengan Allah Swt.—menjadi
ciri orang yang takwa, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, Sungguh,
mereka yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian tetap
berpegang teguh (pada agama), mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih
(Q., 46: 13).
0 Comment