Dalam ajaran moral atau akhlak Islam, setiap orang harus berusaha dapat
berbuat baik dalam situasi atau kondisi apa pun. Tugas melakukan perbaikan
terhadap segala kemungkaran dinyatakan sebagai amal sosial atau tanggung jawab
sosial. Itulah sebabnya Al-Quran menyebutkan bahwa suatu musibah yang datang
tidak saja akan mengena atau menimpa orang-orang yang berbuat jahat, tetapi
juga pada mereka yang baik-baik. Seperti disebutkan dalam firman Allah Swt., Jagalah
dirimu dari bencana fitnah, yang tidak hanya akan menimpa mereka yang jahat
(zalim—NM) saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah keras sekali dalam
menjalankan hukuman (Q., 8: 25).
Ayat tersebut menasihatkan agar orang beriman tidak boleh bersikap permissive,
tidak peduli dan melonggarkan terjadinya perbuatan dosa atau kemungkaran.
Dengan ungkapan lain, sesuai dengan konsep ajaran Islam, tidak ada pandangan
bahwa membiarkan perbuatan mungkar yang bersifat merugikan pribadi tidak akan
merugikan orang lain. Apa pun bentuk perbuatan dosa atau kemungkaran harus
dicegah karena yang demikian itu merupakan sebuah komitmen dan tugas sosial
setiap pribadi Muslim.
Di sisi lain, konsisten dengan konsep iman, kita memahami bahwa tidaklah
mungkin keimanan dapat disandingkan dengan sikap oportunis. Sikap oportunis
(yang mementingkan keuntungan selama tidak dirugikan dengan mengabaikan aturan
moral) adalah sikap yang bertentangan dengan pesan-pesan keimanan itu sendiri.
Itulah sebabnya perlu terus diadakan pelatihan ruhaniah atau jihâd
nafs sebagai sebuah tahap menyucikan diri (tazakkâ). Dalam berbuat
sesuatu, orang beriman harus terus meminta petunjuk, bimbingan dari Allah Swt.
sehingga tidak mudah tergelincir ke dalam perbuatan dosa atau kemungkaran. Oleh
karena itu, dalam shalat, kita selalu membaca doa yang berbunyi, Tunjukilah
kami jalan yang lurus (Q., 1: 6).
0 Comment