Ada suatu firman suci yang baik untuk kita renungkan dan amalkan
maknanya. Firman itu terbaca terjemahannya kurang lebih demikian: Katakan
(hai Muhammad), Aku hanyalah menasehatkan satu perkara saja kepada kamu semua,
yaitu hendaknya kamu berdiri menghadap Allah, berdua-dua (bersama orang lain)
atau pun sendirian, kemudian kamu berpikir (Q., 34:46). Dengan kata lain,
Nabi Saw. diperintahkan untuk menyampaikan pesan yang terdiri dari dua hal
namun hakikatnya tunggal, yaitu beribadah dan berpikir.
Bagi banyak kaum Musli makna firman itu sudah jelas, yaitu bahwa
beribadat dan berpikir adalah dua kegiatan yang tidak boleh dipisahkan.
Beribadat yang mempunyai efek pendekatan pribadi kepada Allah mengandung arti
penginsafan diri pribadi akan makna hidupnya, yaitu makna hidup yang berpangkal
dari kenyataan bahwa kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Oleh
karena itu, dengan sendirinya diharapkan bahwa seseorang yang beribadat akan
sekurang-kurangnya memiliki perbentengan diri dari kemungkinan tergelincir
kepada kejahatan. Inilah makna firman bahwa shalat mencegah seseorang dari
perbuatan keji dan mungkar.
Secara lebih positifnya, beribadat diharapkan mempunyai efek tumbuh dan
menguatkan komitmen moral, yaitu rasa ketertarikan batin kepada keharusan
berbuat baik kepada sesama manusia. Juga berarti diharapkan bahwa seseorang
yang beribadat mempunyai dorongan yang tulus untuk bekerja dan berkegiatan yang
membawa manfaat kepada sesamanya. Di sinilah relevansinya berpikir sebagai
gandengan beribadat. Yaitu bahwa kita tidak dibenarkan begitu saja melakukan
sesuatu yang kita anggap baik sebagai hasil dorongan ibadat kita, namun tanpa
pengetahuan yang diperlukan untuk merealisasikannya secara benar. Dalam
masyarakat sering terjadi seseorang dengan dorongan kemauan baik hendak berbuat
suatu kebaikan, namun hasilnya justru merugikan orang lain. Maka orang itu
karena kemauan baiknya, mungkin akan tetap mendapatkan pahala di akhirat nanti;
tapi karena kemauan baik yang dia laksanakan secara tidak benar akibat
ketiadaan ilmu padanya, mungkin saja dia malah akan membuat sesamanya celaka.
Itulah sebabnya ditegaskan dalam Kitab Suci (Q., 58:11) bahwa keunggulan akan
diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu. Jadi, bukan hanya
beriman saja tanpa ilmu dan juga bukan berilmu saja tanpa iman.
Kesatuan antara iman dan ilmu itu dalam Islam menjadi dasar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di zaman klasiknya yang jaya. Kini para sarjana
sepakat bahwa sebagaian basar dari ilmu pengetahuan modern merupakan pengembangan
lebih lanjut dari pokok-pokok pemikiran ilmiah zaman klasik Islam.
Di samping itu, ada faktor lain yang membuat beribadat dan berpikir itu
penting dilaksanakan serentak, yaitu berpikir tentang beribadat itu sendiri.
Ibadat memang amat diperlukan, tapi dia harus berdasarkan sesuatu yang
potensial masuk akal, bukan dongeng atau mitologi. Karena itu disebutkan
bahwa satu kualitas orang-orang yang beriman ialah bahwa mereka itu, jika
diigatkan akan ayat-ayat Tuhan mereka, tidak tunduk sebagai orang yang tuli dan
buta (Q., 25:73), melainkan, seperti dikatakan A. Hassan, tunduk dengan
ikhlas dan dengan pengetahuan, karena menggunakan pikiran.
0 Comment